INTERESTNEWS — EWP Tambunan adalah tokoh yang luar biasa, rendah hati, dan terkenal sebagai pejabat jujur. Nama lengkapnya adalah Edward Wellington Pahala Tambunan. Sering juga orang menyebutnya dengan salah eja menjadi: Edward Waldemar Pahala Tambunan.
Biasanya, ketika ia berpidato, gayanya selalu seperti Pak Guru yang bersemangat bercerita. EWP Tambunan senantiasa membekali audiensnya dengan pesan-pesan budaya yang filosofis. Secara tulus hati ia sampaikan. Satu lagi ciri khas beliau adalah peci merah dan baju teluk belanga. Ke mana-mana tak pernah lepas ia mengenakan dua perangkat busana Melayu tersebut.
Keteladanan EWP Tambunan
Sebelum istilah blusukan tenar menjadi label dari Joko Widodo saat menjabat Bupati, EWP Tambunan sudah terlebih dahulu melakukan blusukan. Dia gemar blusukan dan tidak suka aturan protokoler, tetapi ia sangat disiplin soal waktu.
Mantan Komandan Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) ini, senantiasa berjalan kaki dari kediamannya ke kantor Gubernur yang berjarak hampir 1 kilometer. Setiap pagi dan sore, ia melambai dengan santai pada setiap orang yang berpapasan dengannya: penarik beca, anak sekolah, penjual misop, penyapu jalan, dan lain-lain.
Bila di mobil dinas, meninjau ke Kabupaten atau Kota, jarang sekali ia duduk di jok belakang yang lapang. Ia selalu duduk di depan, di samping supirnya.
Sebagai Gubernur Sumut, setiap kali dinas ke Jakarta, pasti beliau menginap di Mess Kantor Perwakilan Sumut yang sederhana, di Jalan Jambu, Menteng. Dia tidak pernah sekali pun menginap di hotel. Apalagi hotel mahal, yang sesungguhnya layak baginya. “Ini rumah kita”, katanya.
Setiap hari, selama beliau menginap di sana, semua surat-surat yang harus ia tanda tangani, ia minta dikirim ke Jakarta. Usai itu, surat-surat tersebut harus kirim segera ke Medan hari itu juga. “Jangan ada urusan yang tertunda, hanya karena saya di Jakarta, ya!” pesannya.
Semua kebutuhannya selama di mess itu, seperti suratkabar, nasi bungkus, berpuluh cangkir kopi (beliau perokok berat dan penikmat kopi yang khusuk, serta pembaca buku yang lahap), sampai sewa kamar, ia bayar tunai. “Saudara catat semua, hitung, dan tagih kepada saya. Jangan berlebih, jangan pula kurang. Saya minta kuitansinya!” perintahnya kepada staf Mess yang mengurusinya. “Saya ke Jakarta ini, urusan dinas, dan semua keperluan saya adalah tanggungan Pemerintahan Provinsi Sumut,” tegasnya.
Masa Paripurna
Setelah ia pensiun sebagai Gubernur, tidak satu pun barang ia bawa ke rumah pribadinya yang sederhana di Jalan Kayu Putih Tengah, Jakarta Pusat. Tidak juga mobil dinas, yang pada masa itu, lazim menjadi ‘milik’ bagi pejabat negara yang pensiun. Padahal, ia tidak punya satu pun mobil pribadi.
Selama bertahun-tahun sebagai Gubernur, para staf Kantor Perwakilan di Menteng Jakarta sudah biasa melayaninya. Dalam beberapa hari setelah pensiun, EWP Tambunan mengundang seluruh staf mulai dari tukang sapu sampai Kepala Perwakilan ke rumahnya. Ia mengadakan syukuran dan makan siang bersama. EWP Tambunan dan isterinya pun dengan gembira menyambut dan melayani mereka. Sang istri membagikan piring dan beliau menyendokkan nasi satu per satu untuk mereka.
“Selama ini kalian telah melayani saya dan istri saya dengan baik. Maka kini, tibalah saat saya berterima kasih. Izinkan saya gantian melayani saudara-saudara,” ujarnya dengan suara baritonnya yang khas, sambil tersenyum. Kontan saja, para staf, yang sebagian adalah pegawai honorer, tukang pel toilet, tukang sapu, pesuruh, pengantar surat, tukang beli koran, pembuat kopi, tukang cuci baju beliau, menangis. Dengan tenggorokan tercekat, dada sesak karena haru, tak terasa air mata mereka jatuh ke piring. Terima kasih untuk teladanmu, EWP Tambunan.
Penulis: Sabar Mangadu Tambunan