Kerukunan Sebagai Landasan Hidup Bermasyarakat

INTERESTNEWS — Kerukunan sebagai landasan hidup bermasyarakat merupakan tema acara 90 menit bersama Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA Indonesia) Provinsi Jawa Tengah. Acara ini bekerja sama dengan Radio Surya Kebenaran Ambarawa dengan pemandu Ezra Romario pada Kamis (9/9/2021).

Henry Kailola pimpinan umum INTERESTNEWS sebagai penanggung jawab acara, menghadirkan narasumber-narasumber yang penuh dedikasi. Mereka adalah Haerudin, SH, MH kepala KESBANGPOL (Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Tengah), Hj. Endang Maria Astuti, S.Ag, SH, MH (anggota Komisi VIII DPR RI), dan Pdt. Elly Pitoy-de Bell, S,Th sebagai Sekretaris I Majelis GPIB.

Lasma M Simbolon sebagai Ketua PEWARNA Indonesia Jawa Tengah mengawali dengan sambutan. Lasma mengatakan seperti anjuran Gubernur Jawa Tengah di masa pandemi ini kita harus saling rukun dan peduli satu dengan yang lain. Bukan saatnya lagi kita saling berseteru dan demo melainkan saling memperhatikan dan rukun tolong-menolong.

Tema Kerukunan sangat tepat kita hadirkan untuk semua pemirsa baik yang ada di Indonesia maupun yang ada di mancanegara. Acara ini berlangsung secara streaming sehingga dapat menjangkau pendengar di berbagai mancanegara.

Menurut Endang, kerukunan antarumat beragama penting karena NKRI bisa terjaga dengan baik manakala masyarakat tinggi toleransinya dan mengimplementasikannya dalam kehidupan.

Apapun agamanya jika saling menghargai maka akan tercipta kerukunan. Para tokoh agama masing-masing dapat memberikan pencerahan kepada umatnya. Masyarakat memahami betapa pentingnya kerukunan tersebut dan bentuk dari kerukunan dalam bermasyarakat dan beragama. “Berjihad tidak harus dengan bom bunuh diri atau yang lain, tetapi menyingkirkan duri yang ada di pinggir jalan juga berjihad. Karena itu, tujuannya supaya tidak melukai orang lain,” terang Endang Maria dengan tegas.

BACA JUGA:  Hari Kemerdekaan RI 2021: Beda dan Perbedaan

Identitas Bangsa Indonesia

Pdt Elly Pitoy menyoroti hidup gotong-royong sebagai bentuk dari kerukunan. Pengajaran kasih dalam kekristenan menjadi dasar gotong-royong. Perbedaan bukan untuk saling menghancurkan, namun menjadi kesempatan untuk saling manghargai dan mengasihi satu dengan yang lain. Beliau juga memberi contoh dalam ibadah keluarga sering menghadirkan tokoh-tokoh dari agama lain untuk berdiskusi dan mendialogkan persoalan bersama. “Kami mempunyai bahasa, yaitu: Kami adalah anak Indonesia, perbedaan justru menjadi sebuah keunikan,” kata Pendeta Elly Pitoy.

Haerudin mengatakan kerukunan merupakan kebudayaan bangsa. Indonesia dapat terbentuk karena adanya kerukunan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, tetapi berbeda-beda. Karena itu, ada Semboyan Bhineka Tunggal Ika. Walaupun berbeda-beda, tetapi tetap satu. Satu rumah, yaitu: Indonesia. Jadi dalam mengelola bangsa ini harus bangun kerukunan. Para pendahulu bangsa ini sebetulnya sudah mewariskan kerukunan, dengan adanya RT (rukun tetangga), RW (rukun warga). Istilah-istilah ini mengisyaratkan agar bangsa ini rukun karena perbedaan suku, agama, bangsa, maupun keturunan. “Rukun agawe santoso,” kata Haerudin.

Dr. Ayu yang tinggal di Kanada bertanya dalam acara ini. Bagaimana cara KESBANGPOL Provinsi Jawa Tengah mengatasi kasus intoleransi yang terjadi?

Kepala KESBANGPOL memberi tanggapan bahwa kasus intoleransi yang sering terjadi adalah tentang pendirian rumah ibadah.

Peran FKUB dan dengan dukungan pemerintah sangat membantu KESBANGPOL untuk menyelesaikan kasus intoleransi yang terjadi. KESBANGPOL membangun komunikasi dengan lingkungan dan oknum-oknum yang bersangkutan.

Menurut Haerudin yang paling sulit dilakukan adalah merawat kerukunan.

Kesimpulan dari ketiga narasumber, yaitu: kasih, kesadaran akan pentingnya kerukunan, rasa saling menghargai satu dengan yang lain, membangun toleransi antaragama dan suku bangsa, menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya. Semua ini merupakan dasar atau landasan kerukunan dalam hidup bermasyarakat.

BACA JUGA:  Misteri Kecelakaan Maut, 33 Penumpang Tewas

Pada akhir acara, ketiga narasumber yang nyatanya terdiri dari beragam suku dan agama pun saling menyapa dengan sedikit senda gurau penuh keakraban. Suatu saat nanti kita berjumpa dan saling silahturahmi. (Jarwadi)

Mari Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *