Rumah Gubug di Pinggir Rel Kereta, Anak Sarjana

INTERESTNEWS — Pardi tinggal di rumah gubug pinggir rel kereta api di Desa Wonokarto, Kabupaten Wonogiri, JawaTengah. Ia mampu mengantar anaknya menjadi sarjana yang berprestasi.

INTERESTNEWS bertandang ke kediaman Pardi, rumah gubug yang sederhana. Rumahnya berlantai tana yang sudah mengeras. Ia tampak bertelanjang dada habis serabutan jadi tukang las. “Panas,” gumamnya sambil menyambut INTERESTNEWS dengan ramah dan santai, Senin (9/5/2022).

Gubug berukuran 5 x 5 terbuat dari anyaman bambu dengan batang kayu dan sebagian berlapis lembar tripleks seadanya. Ia mengaku tidak lulus SD. “Saya itu tidak lulus SD. Rumah masih begini dengan lantai masih tanah, tapi tidak apa-apa. Yang penting anak saya sarjana semua,” jelasnya bangga.

Keseharian Pardi bekerja serabutan. Apa saja ia akan kerjakan yang penting dapat membiayai kebutuhan hidup keluarganya serta menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana.

“Saya tidak pilih-pilih, pekerjaan apa saja saya kerjakan yang penting halal. Cuci mobil, kernet angkutan, tukang las, apa saja yang membutuhkan tenaga saya dan kapan saja. Agar saya dapat menyekolahkan anak saya hingga sarjana,” ungkapnya dengan mata berbinar-binar.

Menurut Pardi, tidak perlu gengsi pilih-pilih kerja. Apa saja yang penting halal karena ia sudah berjanji kepada anaknya akan mendukung dan berusaha untuk membiaya mereka hingga sarjana. Ia tidak mikir rumah meski harus kepanasan jika musim kemarau dan kedinginan bila musim hujan.

Rumah Pardi masih berlantaikan tanah dan kayu sebagian berdinding tripleks.

Rumah Gubug Anak Sarjana

“Lantai rumah masih tanah, ora opo-opo. Meja-kursi seadanya, yang penting anak saya bisa sekolah. Yang penting bisa berteduh. Rumah kecil ora opo-opo,” katanya lagi tertawa, sambil membuka bajunya yang tampak berkeringat.

BACA JUGA:  Melestarikan Budaya Gotong-Royong Bentuk Pengamalan Pancasila

Agar anaknya tidak putus sekolah di tengah jalan, ia berusaha banting tulang mencari kerja sampingan lain. Ia bekerja keras memenuhi biaya kuliah anaknya.

“Istri di rumah seadanya menerima, yang penting bisa bayar uang kuliah. Puji syukur! Anak saya naik sepeda ontel namun ia bisa masuk ke SMA favorit bertaraf Internasional rintisan. Sekolahnya orang kaya namun anak saya tidak berkecil hati. Ia berhasil berprestasi hingga lulus SMA diterima di beberapa Universitas Negeri tanpa tes karena berprestasi. Hanya saja anak saya memilih Universitas Diponegoro Semarang. Melihat anak saya diterima, saya dan istri saya makin semangat untuk mendukungnya sampai sukses supaya kehidupannya lebih baik dari kami orangtuanya. Kini anak saya sudah lulus dengan memuaskan. Kami orangtua bangga,” katanya dengan yakin.

Pewarta: Elisa Budi Sumartono

Mari Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *