Kehidupan dan Kematian Begitu Dekat

INTERESTNEWS — Kehidupan dan kematian jaraknya begitu dekat. Mungkin banyak orang menyangkali hal ini. Bahkan jika mungkin, kita ingin masuk surga tanpa harus mati untuk mencapainya. Mungkinkah? Kenyataannya tidak demikian. Kematian adalah proses alami kehidupan, sebuah tujuan yang tak terelakkan bagi kita semua.

Beberapa waktu lalu, kita mendengar kabar atas wafatnya mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif di Yogyakarta, Jumat (27/5/2022). Ini berita duka bagi Indonesia.

Sementara itu, tidak jauh berselang kabar duka kembali datang menyelimuti. Pdt. Daniel Lucas Lukito, mantan Ketua Sekolah Tinggi Teologi SAAT di Malang, meninggal dunia pada Minggu (29/5/2022). Ini menjadi duka bagi komunitas Kristen di Tanah Air.

Kepergian kedua pemuka agama ini selain mengundang duka, juga mengajak kita melihat kembali kenyataan bahwa kehidupan dan kematian begitu dekat. Kenyataan ini tidak bisa kita elakkan: suatu hari kita akan berpulang.

Takut Mati dan Menyangkal Kematian

Semua orang akan mati. Anda akan menemukan bahwa kita bernasib sama pada akhirnya nanti. Kita akan mati, sama seperti orang-orang yang kita kasihi, yang sudah lebih dulu meninggalkan kita. Anda mungkin sudah siap. Tetapi, tidak sedikit dari kita yang belum siap, bahkan takut mati.

Lebih parah lagi, tidak sedikit dari antara kita berusaha menyangkali kematian. Ernest Becker pernah menuliskan dalam bukunya “The Denial of Death” yang memenangkan penghargaan Pulitzer. “Ironi dari kondisi manusia adalah kebutuhan terdalamnya untuk terbebas dari kecemasan akan kematian dan kehancuran,” tulisnya.

Tidak ada yang mau mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga pun tidak ingin mati, ungkap Steve Jobs dalam pidatonya di Universitas Stanford, AS, 2005. Bisa jadi pidato ini menyuarakan suara hati kita juga: jika bisa, kita tidak ingin mati.

BACA JUGA:  Studi Tiru Program Kepenyuluhan Inovatif

Takut mati tentu wajar. Sebab, jika tidak demikian, mungkin orang akan gegabah mengelola pola hidupnya, pola makannya, hingga caranya berlalu-lintas di jalan. Ketakutan akan kematian memang cukup umum, dan kebanyakan orang takut mati dalam berbagai tingkatan.

Beberapa ketakutan ini sehat karena membuat kita lebih berhati-hati menjaga kesehatan dan gaya hidup, tetapi beberapa orang mungkin juga memiliki ketakutan yang tidak sehat akan kematian.

Kematian Adalah Fase Normal

“Kematian adalah fase normal yang akan dilalui setiap orang, jadi tidak perlu khawatir,” ujar Dr. Ashok Handa. Dr. Handa adalah seorang Hindu yang saleh dan bekerja sebagai dosen ilmu kedokteran bedah di Universitas Oxford, Inggris. Ia sudah melihat banyak pasien meninggal dunia. Tanpa ragu lagi, ia yakin bahwa kematian adalah tahapan alamiah manusia yang tidak perlu ditakuti.

Selanjutnya, Ernest Hemingway, sastrawan Amerika pernah mengatakan, “Hidup setiap orang berakhir dengan cara yang sama. Hanya detail bagaimana dia hidup dan bagaimana dia mati yang membedakan satu orang dari yang lain.”

Kematian dan kehidupan memang begitu dekat. Dengan mengetahui kematian menanti di ujung hayat, kita dapat belajar memandang kematian sebagai pengingat kehidupan. Jika hari ini kematian belum tiba, berarti kita masih memiliki waktu. Kita memiliki kesempatan atas hidup kita, atas tindakan kita, dan arah yang ingin kita tuju.

Seneca, filsuf Romawi yang hidup sezaman dengan Yesus Sang Filsuf dari Nasaret, percaya bahwa hidup sejatinya adalah perjalanan menuju kematian. Karena itu, setiap orang perlu berlatih mempersiapkan kematian sepanjang hidupnya. “Perlu seumur hidup untuk belajar bagaimana menjelang ajal,” ujarnya. Seneca benar dalam hal ini. Waktu kita memang terbatas. Sehebat dan sekuat apa pun tubuh kita saat ini, suatu hari akan sakit juga, melemah, tak berdaya, lalu mati.

BACA JUGA:  5 Pintu Kelenteng Tek Hay Kiong Kota Tegal Sudah Terbuka

Di sisi lain, seorang penulis Ryan Holiday ke mana-mana selalu membawa koin bertuliskan Memento Mori (ingat kematian) di sakunya. Koin itu sebagai pengingat akan kehidupan yang singkat dan semua aktivitas seseorang, sepopuler apa pun dirinya juga akan berakhir. Sekeras apa pun kita berusaha, kita tidak bisa lepas dari kematian.

Mempersiapkan Kematian secara Rasional

Filsafat Yunani-Romawi memandang kematian sebagai hal yang wajar dan jiwa manusia akan kembali ke alam. Sebaliknya, teologi bergerak melampaui pemahaman itu. Secara teologis, kematian tidak saja wajar, tetapi juga bukan akhir segalanya. Kematian akan mengantarkan jiwa manusia ke hadirat Sang Khalik, seperti yang Rabi Saulus katakan, “Beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan.” Bahkan, tubuh fisiknya suatu hari kelak akan dibangkitkan pada kedatangan Sang Mesias kali kedua. Keyakinan akan kebangkitan ini mendorong orang untuk melihat kematian fisik sebagai “tidur” dan menanti-nantikan masa di mana “maut tidak akan ada lagi.” 

Filsuf Stoa bernama Epiktetus mengajarkan bahwa hidup adalah mempersiapkan diri menuju kematian secara rasional. Artinya, kita menggunakan akal budi dalam menjalani kehidupan sembari menuju kematian, sehingga kita menerima kematian sebagai proses alami kehidupan.

Karena itu, nasihat Rabi Saulus perlu kita perhatikan. Ia mengatakan, “Perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup. Janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif. Pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.”

Menggunakan waktu yang ada secara produktif adalah nasihat bagi kita semua dalam mengisi kehidupan. Nonton serial drama dan bermain game tentu wajar saja. Namun demikian, serial drama atau game itu janganlah sampai mengikat kita agar tidak banyak waktu berharga kita terbuang begitu saja. Nasihat ini juga termasuk tidak menyia-nyiakan hidup dengan berusaha menjalani standar kesuksesan atau kekayaan orang lain. Juga kita tidak terjebak dalam kompetisi menggapai popularitas yang tiada habisnya.

BACA JUGA:  Perayaan Hari Kelahiran Nabi Khongzi MAKIN Tegal

Kita mengingat suatu saat akan meninggalkan dunia ini. Jangan resah akan bayangan kematian, yang bisa menjadi pemicu penderitaan dalam batin kita. Sebagian dari kita mungkin boleh terhiburkan oleh perkataan Yesus Sang Filsuf dari Nasaret. Ia berkata, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.”

Disadur dari tulisan: Dhimas Anugrah
Editor: Boy Tonggor Siahaan

Mari Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *