INTERESTNEWS — Wajah sukacita seringkali menimbulkan ide kreatif. Berikut kisah saya sebagaimana orang melihat wajah sukacita saya, sehingga saya seringkali menemukan ide kreatif.
Suatu hari di sore yang sejuk, saya sedang berjalan menuju hotel Plaza Sudirman Salatiga. Saya berkantor pada sebuah media cetak Goodnews, di tempat ini.
Baru saja saya melangkah melewati ruko, penjual lauk-pauk gudeg yang mangkal jualan di teras ruko, memanggilku dan melambaikan tangan. Ia setiap siang hingga sore jelang petang berjualan di sana. Masakannya maknyus.
Melihat itu, saya langsung balas melambaikan tangan sambil menyapa dengan ramah dari kejauhan. Namun karena saya ada janji saya terus saja melanjutkan langkah saya menuju hotel.
Setelah tamu saya pulang, saya pun merasa lapar. Aku mengajak Gusti stafku untuk cari makan. “Gudeg saja,” usul Gusti. Hm, oke juga. Kami pun melangkahkan kaki menuju tempat penjual gudeg yang tadi menyapa. Jualannya laris manis. Hampir habis karena sudah sore.
Melihat saya datang, tiba-tiba ibu itu histeris kegirangan. “Mbak Lasma! Senangnya saya hari ini mbak datang,” ujarnya dengan wajah ceria. “Saya sudah lama ingin jumpa. Setahun saya menunggu sekarang. Saya selalu bilang ke Mbak Gusti, tetapi kog belum juga datang,” lanjutnya lagi tanpa memberikan saya kesempatan untuk bicara.
Tentu saja saya keheranan apa maksudnya. Lalu saya menoleh ke Gusti yang memanggilku kak, tertawa lebar. “Maaf bu saya selalu lupa. Iya kak, ibu ini ingin ketemu kakak tapi saya selalu lupa,” jelasnya.
“Oya!?” ujarku keheranandan penasaran.
Ibu itu mengulurkan tangannya lalu aku genggam tangannya sambil kutepuk-tepuk dengan sepenuh hati. Terharu rasanya melihat ibu itu kegirangan.
“Mbak Lasma, setiap hari saya melihatmu dari jauh. Mbak itu lho, saya senang melihat mbak meski dari jauh. Melihat saja sudah senang. Setahun saya lihat dan perhatikan mbak. Saya selalu titip pesan bok bawa kakakmu ke sini saya ingin bertemu. Akhirnya kesampaian juga. Senangnya,” katanya lagi dengan girang.
“Emangnya ada apa ibu? Saya memang penggemar masakan ibu karena saya suka gudeg ibu,” ujar saya tertawa.
“Gini lho mbak. Saya selalu lihat mbak lewat hampir tiap hari kecuali libur. Itu lho mbak. Apa Mbak Lasma tidak pernah punya masalah?” tanyanya sambil melayani pembeli. Para pembeli terkadang melihat saya dan ibu itu bergantian. Namun, seolah ibu itu hanya fokus ke saya, untung pelanggan terakhir.
Tapi tiba-tiba Gusti tertawa: “Haha… Ibu, kakakku ini orang yang sangat banyak masalah, gak ada bu di dunia ini yang gak ada masalah. Nah yang paling banyak kakak ini,” cetusnya ngakak. Tentu saja aku kasih kode dengan sedikit melotot agar berhenti ketawa, tetapi tetap saja, dasar memang si Gusti.
“Saya senang lihat Mbak Lasma, setahun lho saya amati. Setiap lewat wajahnya selalu gembira. Melihat raut wajah mbak dari jauh hati saya adem. Saya bilang ke orang lihat mbak itu orang yang tidak punya masalah. Saya ingin ketemu, tetapi hanya lihat dari jauh karena langkahnya cepat. Cara jalannya santai, tetapi cepat kayak lari,” katanya tertawa. “Mbak Lasma mengapa bisa selalu terlihat gembira? Tidak pernah sekalipun saya melihat mbak murung atau cemberut, tidak pernah. Terkadang kalau saya punya masalah saya ingat mbak. Saya jadi ingin kayak mbak. Hidupnya enak sekali pastinya. Ya, Allah, itu orang tidak pernah susah, batin saya,” katanya panjang dan lebar.
Mendengar ini, saya tertawa dan Gusti apalagi. “Ibu, selama kita di dunia ini tidak mungkin tidak ada masalah. Tanpa diundang, masalah akan datang sendiri. Karena itu, kita tidak perlu cari masalah dan pastinya setiap masalah juga ada masa expirenya. Badai pasti selalu berlalu, ada masanya.
Kalau datang masalah bolehlah kita menangis, boleh kita sedih dan mikir. Kita jangan lari ke manusia karena saat kita curhat mungkin ia simpati. Namun demikian, ia belum tentu bisa memberi solusi. Paling parah lagi, jika ada sesuatu, curhatan kita bisa menjadi bahan cemohan atau gosip. Yang benar itu bercerita (curhat) kepada Tuhan, berdoa. Kalau sudah berdoa minta jalan keluar dari Tuhan. Percaya dan nantikan jawaban Tuhan dengan hati yang gembira. Mana lebih baik menantikan jawaban Tuhan dengan bersungut-sungut, marah, murung, cemberut atau dengan wajah sukacita?
Saya mencoba menjelaskannya kepad ibu itu. Jika ibu punya anak datang minta sesuatu ke ibu. Setelah ia minta, wajah anak ibu cemberut, bersungut-sungut, menangis, atau marah-marah. Pasti kita orangtua bisa marah dan tidak memenuhi permintaannya. Sebaliknya, jika datang dengan wajah yang sukacita, dengan percaya tentu kita terenyuh ingin mrmberi lebih dari yang kita minta. Ya kan ibu. Tuhan pasti tolong sambil kita terus melakukan bagian kita dan bersikap seolah-olah kita sudah menerima dengan begitu pasti semua jadi baik.
“Ya Mbak Lasma. Amin, amin, amin. Karena itu, saya kalau ada masalah saya ingat Mbak Lasma. Itulah sebabnya saya sangat ingin bertemu. Baru ini kesampaian. Alhamdulilah!” ujarnya mengelus dadanya.
Saya pun menghampirinya. Kudekap dia dengan lenganku. Ia meneteskan air mata. Sejak itu, kami jadi dekat. Kalau ada waktu senggang saya mampir ke rumahnya. Jaraknya tidak jauh. Menikmati gudegnya, kami tertawa dan sukacita. Kata orang-orang saya beda. “Katanya tambah cantik dan awet muda lho Mbak Lasma. Pelangganku yang bilang,” ungkapnya. Mendengar ini saya tertawa, memberi dua jempol, sip dan mantap. Itu betul, wajah yang ceria akan terlihat cantik dan menarik.
Jelas makin cantik karena saya katakan: “ibu, harus pakai bedak dan sedikit lipstik tipis. Wanita itu harus cantik, tetapi jangan menor. Rambut harus tertata. Wajah harus senyum. Jangan muka pepaya. Nah, lihat wajah ibu saja orang yakin masakan ibu sangat maknyus dan lariis karena senyum ibu senyum Pepsodent. Mengapa Pepsodent? Senyum yang cantik itu adalah senyum yang giginya sedikit kelihatan. Coba praktekkan,” ujarku. Kami pun tertawa.
Saya selalu menganjurkan kepada orang di sekelilingku untuk tampil selalu menarik. Pembantu saya, saya beri arahan dulu harus bersih dan rapi. Kalau datang pakai bedak, saya belikan bedak dan lipstik. Saya berikan baju yang pas dengan sedikit modis.
Tuhan sangat ingin kita bahagia dan penuh sukacita. Apa sesungguhnya yang menjadi penghalang jawaban doa kita?
Kita berdoa. Kita percaya, tetapi seringkali ketika doa tidak ada jawaban, wajah kita cemberut, murung seolah-olah paling malang di dunia. Kita merasa masalahnya terberat dan terbesar padahal masalah setiap orang itu relatif. Itu sesuai porsi bagaimana Tuhan mempercayakan atau mengijinkan kita agar lebih baik. Tidak ada masalah yang akan menghancurkan kita jika pola pikir kita berbeda dalam menghadapinya. Mari kita menerima, berdoa, berusaha, dan percaya saja. Tuhan pasti tolong.
Dalam menantikan pertolongan Tuhan, sukacita itu akan menarik hati Tuhan untuk lebih cepat mengulurkan pertolongan-Nya. Coba saja.
Masa pendemi ini adalah masa sulit, namun hidup akan terus berjalan dan berlanjut. Pilihan ada di tangan kita. Apakah kita hidup terkungkung dengan ketakutan, kuatir dan cemas!? Ataukah kita tetap patuhi protokol kesehatan, berkarya, bersemangat, dan sukacita? Hati yang gembira adalah obat, tetapi semangat yang patah keringkan tulang. Hati yang penuh sukacita menimbulkan ide-ide kreatif bermunculan, namun muka pepaya membuat otak buntu, putus asa, depresi dan tak ada harapan. Dalam sukacita selalu saja ada harapan. Masa depan/pertolongan/jalan keluar yang indah di tangan Tuhan. (**)
Yohanes 15:11 (TB): Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.
Filipi 4:5 (TB): Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat!
Penulis: Lasma M Simbolon (Ketua Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia Provinsi Jawa Tengah)