Kadang, aku juga punya hati nurani, hatiku memang tidak terima tapi aku selalu saja melakukannya. Aku bangga dengan sikapku. Aku kan memang seperti ini, begitu aku berdalih. Aku tahu sikapku tidak baik. Aku juga rajin ibadah. Beramal sosial!? Hm, aku donatur terbesar setiap kampus adakan baksos.
Terkadang, saat rasa sadar menghantui. Aku sering bertanya-tanya. Siapakah yang aku salahkan? Mamaku yang memanjakanku. Atau orang-orang yang diam membisu dengan sikapku atau pemimpin rohaniku? Agama aku Kristen namun bagiku agama hanya slogan. Namun, aku memiliki jabatan penting di gereja, kadang sejujurnya, aku tidak tahu apa-apa tapi semua orang menunjukku. Memberi posisi yang seharusnya itu diisi oleh para teologi.
Hanya saja, para teolog juga memberi semangat kog. Aku pernah mendengar seseorang berkata tentangku tanpa sengaja aku mendengarnya. Aku selalu mendapat kesempatan untuk menyampaikan renungan. Mungkin karena aku sering diminta untuk menyampaikan kata sambutan saat pemberi bantuan ke panti jompo, panti asuhan dan panti-panti lainnya. Aku juga banyak memberi sumbangan ke gereja-gereja.
Kadang aku tertawa dalam hati. Mengapa semua orang seolah memandangku malaikat? Hingga suatu hari aku tidak sengaja mendengar diam-diam sekelompok orang mempergunjingkanku.
“Dina mah kalau lagi bawa renungan kayak malaikat tapi kalau di hadapan karyawannya kayak kuntilanak.” Oh. God! Help me.
Diaryku, aku tidak pernah mengalami hidup susah, jadi aku tidak mengerti kondisi mereka. Selalu serba ada. Kedua orangtuaku memanjakanku. Aku memang suka membantu orang yang susah tapi bukan karena impati tapi karena aku memandang rendah mereka. Aku kadang bisa menangis melihat kondisi mereka tapi biar keren gitu loh, kog bisa ya hidup mereka susah, batinku. Mungkin kena kutuk. Itu yang selalu ada di hatiku. Itulah sebabnya ketika orang yang kutolong tidak menuruti apa yang kumau maka aku akan memaki-maki mereka dengan sumpah serapah.”Aku membayarmu untuk bekerja padaku!” itu yang selalu kukatakan. Kebun binatang dan segala perkataan kotor adalah hal biasa yang keluar dari mulutku. Sangat familiar jika aku marah.
Aku tidak perduli airmata orang itu. Setelahnya aku menyesal tapi, aku melakukannya lagi dan lagi. Tak terhitung berapa jumlah yang akar pahit terhadapku. sekalipun memang aku sebagai ketua pembina Sekolah Minggu di gereja. Siapa yang dapat menegor ku? Aku banyak jabatan di gereja. Seringkali aku mendengar selentingan, emangnya tidak ada lagi orang lain kog semua jabatan di borong Dina, tapi tetap saja aku berjaya.
Aha! Itulah yang membuatku tidak ingin berubah karena semua orang tetap menganggap sikapku sebagai suatu kebenaran. Aku pun punya posisi. Pembayar perpuluhan terbesar. Setiap ada event bukankah namaku yang tertulis besar sebagai donatur. Siapa yang tidak membangga-banggakanku?
Hanya Sisi ya hanya Sisi yang selalu jutek terhadapku. Bla..bla..bla..bla..yang tidak tertarik dengan uangku…dia selalu berbisik, “ tobat lu Din!”
Diaryku, ucapannya itu, ya ucapan itu kadang aku takut, aku tahu hidup akan selalu berubah. Ada masa semua orang akan mengalami titik balik. Kadang aku membayangkan jika aku jatuh miskin, hidup sederhana seperti Sisi. Kehilangan jabatanku. Atau aku sakit karena tabur tuai atas sikapku? Apakah orang-orang masih mengerumuniku? Apakah gereja masih memberiku jadwal ? Masihkah aku dapat kursi VV VIP dalam setiap event. Masihkah karyawanku menganggapku juragannya?