Mana bisa aku seperti itu? Mama sudah mendidikku dengan penuh kemewahan. Jika makan di luar pasti di restoran berbintang sepuluh, kelasnya pejabat-pejabat tinggi di negeri tercinta ini. Bahkan selebritis kelas kakap ibu kota teman sepermainanku. Weh, mereka selalu mengundangku saat menggelar konser dan mamaku pasti membeli tiket termahal dan ter-VVVIP.
Awalnya sih aku sangat kecewa. Sempat depresi juga sih. Marah. Kecewa. Bolak balik kayak seterikaan. Alhasil tak mengubah apapun. Ortuku tetap kekeh aku harus studi di Salatiga.
Kota kecil. Sunyi. Jika petang sunyi. Aku benci kesunyian. Aku suka gemerlapnya diskotik dan pesta. Sementara di Jakarta, aku bisa memilih sesukaku. Ya, itu dulu…lambat laun kog aku beda. Mulai menyukai ketenangan dan kesunyian.
Aku doyan makan meski tidak banyak-banyak namun bervariasi. Salatiga tuh gudangnya aneka kuliner yang maknyus. Sudah enak. Murah lagi. Beda banget deh…Aku banyak berhemat. Tabunganku penuh karena begitu iritnya kehidupan di Salatiga kota kecil. Tanpa kusadari aku sudah jatuh cinta dengan kota kecil Salatiga.
Di sini, teman-teman begitu memujaku. Mereka mengelilingiku dengan puja puji. Mereka selalu melihatku sempurna dan berdecak kagum setiap aku menceritakan kehidupanku di Jakarta. Kekayaan keluargaku. Pengalamanku keliling dunia. Lihat saja akun face book ku. Wahhh pasti kagum saat aku liburan di Nepal. Puncak Himalaya. Paris. Inggris. London. Hanya kutub utara belum. Pengen sih bertemu penguin binatang kesukaanku. Hhh! Belum tercapai karena sudah harus hijrah ke Salatiga.
Cckk!Ckk!Ckk! itu slalu terdengar, 1000 like di face book ku. Siapa sih yang gak memujiku. Semua pastinya, kecuali satu orang siapa lagi kalau bukan Sisi dan Jordy idolaku si suara emas di kampus yang menang ikut Idol menang pasti mendukungnya. Menyebalkan banget gak sih!?
Diaryku, sejujurnya, lama kelamaan aku jenuh dengan diriku yang selalu iri dengan itu orang. Jauh di lubuk hatiku, sebenarnya, aku ingin bersahabat dengannya tapi,aku gengsi, ia juga selalu jutek kepadaku setiap teman-teman mengerumuniku dengan sanjungan ia akan berbisik.
“Menyedihkan, sobat! Jangan beli mereka dengan uangmu. Makan itu uangmu! Aku tidak tertarik”
Saat aku mengejeknya sambil memamerkan betapa berhamburannya duitku yang aku bagi-bagikan bagi orang-orang. Si Sisi ini akan membisikkan perkataan itu di telingaku. Huuh! Siapa yang tidak sebel?.
Andai saja dia selembar kertas, aku ingin melipat-lipatnya, merobeknya sekecil-kecilnya sampai jadi debu, lalu aku tiup, ciahh! Sampai tidak ada seorangpun bisa menemukannya utuh. Itu tentu saja menyenangkan. Aku akan pamer, tentu saja tidak ada saingan berat lagi. Teman-tamannya akan lari kepadaku. Mereka akan mengikuti apa yang kumau.
Aku memang menyogok semua orang dengan uangku. Aku menguasai karyawan-karyawanku dengan kekuasaan dan uangku. Meski aku memaki-maki Karyawan, mereka tetap akan hormat dan setia di Cafe Ceria yang aku buka karena mama ingin aku belajar berbisnis meski masih kuliah. Mahasiswi tapi aku pengusaha bo, keren kan!?
Sejak di Salatiga, mamaku langsung membeli sebuah eks cafe stik yang bangkrut dan sebuah swalayan outlet ternama. Hm! Mereka, karyawanku, manajer sampai office boy setiap melihatku hormat. Aku dapat melihat hormat yang munafik di sana tapi aku tidak peduli. Aku kan punya uang yang membuat mereka tetap bertahan. Aku tahu itu, Gaji pun lebih tinggi dari UMR yang berlaku, tapi masalah disiplin?! siapa yang mau menolak meski aku bombardir dengan umpatan.