Hujan Salju Turun di Kopeng

Segera aku hidupkan televisi chanel Metro TV dan ganti TV One. Astaga!! Di sana ada berita tentang Aisya. Aku segera kembali meraih helm dan tancap gas menuju Kopeng.

Seharusnya aku ikut dalam tim sukarelawan Ke gunung Kelud tapi ada tugas hari minggu di gereja dan kampus. Biasanya, jika tidak ada tugas di gereja aku ibadah pagi, Aisyah sudah menungguku di ruang bawah gereja karena pulang gereja kami ke Kopeng melihat kebun kami sambil buat bekal satu minggu keripik Wortel dan keripik kentang, enak tenan.

Meski aku dan Aisya beda agama tapi tidak menghalangi persahabatan dan persaudaraan kami. Aku juga tidak segan menunggu Aisya mengajar mengaji di kampungnya, suaranya merdu saat mengalunkan ayat-ayat kitab sucinya atau saat jalan-jalan, waktunya solat ia solat di Mesjid yang kami lewati.

Ia tekun melakukan ibadahnya 5 waktu. Aku sangat senang melihat Aisya mengenakan kerudungnya. Tampak manis dan anggun.

Aisya sendiri mengaku sangat menikmati kidung-kidung rohani yang berkumandang saat praise and whorship di gerejaku JKI Amanat Agung, Salatiga saat menungguku.

Aku sampai hapal beberapa lagu, ujarnya tertawa. Itulah persahabatan kami yang indah. Ia juga mengagumi kehidupan Yesus Kristus baginya Nabi Isa Almasih. Kami pun sering membayangkan jika kami bisa melakukan seperti kehidupan Isa selama di dunia, yaitu pelayanan peduli dan kasih yang tulus kepada sesama tanpa membeda-bedakan suku, ras, agama dan golongan.

Aku tertegun melihat keramaian di rumah Aisya. Seperti sebuah mimpi tapi nyata. Orang banyak berkerumun. Kedua orangtua Aisya memelukku bergantian.

“David, Aisya adikmu sudah pergi meninggalkan kita.”Jerit Ibunya Aisya memelukku dan tubuhnya terkulai jatuh pingsan.

BACA JUGA:  Setangkai Mawar Merah

Isak tangis memenuhi ruangan. Para tetangga berkumpul. Anak-anak dari Sumogawe bersama orangtruanya dua bus datang memenuhi halaman rumah yang sudah sesak. Menunggu jasad Aisya dan rombongan dalam perjalanan pulang dari kaki Gunung Kelud ke Salatiga – Kopeng.

Aisya dan tim dikabarkan berada dalam perkiraan zona aman namun terjebak dalam satu medan yang terimbas lumpur dingin yang terjadi di luar dugaan sehingga mereka sempat terkepung sesaat sebelum mereka terendam lumpur.

Petugas dan tim relawan segera menolong dan melarikan ke Puskesmas dan merujuk ke Rumah Sakit terdekat tapi hanya beberapa jam semua tim menghembuskan nafas terakhir dan yang paling terakhir menghembuskan nafas adalah Aisya.

Tapi Ia sempat menyerahkan sepucuk surat kepada perawat untuk diberikan kepadaku.

Buat Kakakku terkasih Davit,
Kakakku, ini aku pertama kali memanggilmu kakak karena usia kita hanya berpaud beberapa bulan. Jadi aku enggan memanggilmu kakak.

Sebelumnya aku sudah punya firasat tapi aku tidak kuasa menepisnya. Aku bermimpi bertemu adikmu Ester, ia sungguh cantik, sehari sebelum aku berangkat. Kami terjebak dalam lumpur dingin. Semula zona kami aman tapi semua tidak terduga.

Aku masih sempat menuliskan surat ini dan membungkusnya dengan rapih supaya tidak basah dan tetap utuh ke tanganmu. Kami beberapa jam masih bisa bernafas sampai hujan lumpur dingin mengguyur kami dan banyak yang ingin menolong kami tapi kami sudah terseret aliran lumpur dan tidak sadarkan diri. Sampai kami tiba di Rumah Sakit.

Kakakku, aku tidak tahan lagi. Sesaat aku teringat perkataan kakak. “Aisya aku ingin melihat hujan salju turun di Kopeng ini. Kebayang nga sih seluruh tanaman kita tertutup salju. Semua tampak putih. Tapi, kalau itu terjadi tanaman kita pasti mati.

BACA JUGA:  Ketika Dina Menulis Diary

Sebenarnya, aku ingin melihat salju tetap turun di bumi Kopeng tapi membuat tanaman kita subur dengan panen yang berlimpah dan orangtuamu dapat menambah tabungannya.” Itulah ucapanmu kak.

Kak, aku pun terenyuh mengingat perkataan kakak jauh sebelum gunung Kelud meletus.

Harapan kakak terkabul, hujan salju telah turun di bumi Kopeng dan salju itu tidak membuat tanaman kita mati tapi, sesaat tanaman kita akan tumbuh subur dengan panen yang melimpah. Itulah sebabnya, meski aku tidak ada, aku harap selama kakak masih kuliah di Salatiga atau sudah lulus dan kembali ke kota metropolitan. Ingatlah bahwa kakak punya keluarga tempat di mana tanganmu tertempa kasar seperti tangan lelaki pekerja bukan tangan anak lelaki yang manja karena berkelimpangan harta tapi miskin kasih sayang.

Aku juga berharap kakak selalu merindukan keripik kentang dan wortel. Aku senang karena kakak sudah bisa menyayangi kedua orangtua kakak bahkan ingin bertemu denganku.

Ah, betapa inginnya aku membuat bolu kentang dan keripik wortel yang terenak di Kopeng untuk menyambut kedua orangtua kakak. Maafkan aku ya kak tapi aku mengasihi mereka sampaikan salamku ya.
Salam manis Aisyah adikmu.

Kemudian aku melipat surat Aisya pelan-pelan. Air mataku jatuh di jasadnya yang kaku membujur. Kuletakkan helm pink pemberianku yang terakhir.

Kedua orangtuaku tiba, sehari sesudah jenazah Aisya tiba di rumahnya. Papa dan mamaku memelukku bergantian dengan airmata berderai.

Tangis mereka semakin memecah saat menyaksikan wajah Aisya yang pucat begitu mirip dengan Ester. Hal ini membuat mamaku pingsan.

Kehadiran Aisya telah membuat suasana yang baru dalam hidupku. Kedua orangtuaku mendengar bahwa Aisya mirip dengan Ester mereka berharap akan bertemu karena mereka merindukan anak perempuannya.

BACA JUGA:  Ketika Dina Menulis Diary

Namun, sayang mereka tidak dapat melihat bola mata Ester yang dalam diri Aisya. Tawa kecil dan senyumnya sebab mata Aisya tertutup rapat dan kaku.

“David, mama dan papa minta maaf kalau selama ini terlalu sibuk sampai tidak memperhatikanmu dan mengabaikanmu. Kami berjanji akan kembali menjadi orangtua yang selama ini kau impikan dan yang kau dapatkan di keluarga Aisya.”

Mamaku memelukku dengan isak tangis. Papaku juga menangis sambil menabur bunga di pusara Aisya. Kedua orangtuaku sepakat akan tetap menjalin silaturahmi kekeluargaan dengan keluarga Aisya. Bahkan yang membuatku terharu adalah kedua orangtuaku berjanji akan membiayai sekolah adik-adik Aisya sampai perguruan tinggi.

Mereka membeli sebidang tanah untuk dikelola oleh kedua orangtua Aisya.

Hujan salju debu vulkanik itu memang turun di pegunungan Kopeng, menyisakan kabut dan mendung kelabu akan tetapi tunas-tunas baru wortel dan kentang muncul merekah, menguak tanah gembur.

Aisya! Selamat jalan, adikku dan sahabatku. (*)

Oleh : Lasma M Simbolon

Mari Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *