Hujan Salju Turun di Kopeng

“Kog, bisa seperti kembar ya. Aku begitu mirip dengan adikmu. Begini saja! Anggap aku adikmu. Jadi, apa yang hilang selama ini temukan lewat aku, gimana?! Dan kau harus mengasihi aku seperti adikmu ya?” Tukasnya sambil mengamati dengan serius foto Ester.

Ester, adik semata wayangku dipanggil Tuhan terserang penyakit Leukimia. Aku hanya bermain dengan Ester di rumah mewah bertembok Berlin ditemani Baby sister dan pembantu yang sudah seperti orangtua sendiri.

Kadang aku lebih dekat dengan pembantu di rumahku. Jika pembantu pulang kampung hatiku begitu sedih dan sebaliknya orangtuaku, aku tidak perduli karena mereka hanya memberikan aku dan Ester kemewahan. Kehadiran orangtuaku bisa di hitung dengan jari dalam setahun.

Aisya begitu tersentuh mendengarnya. Tentu saja kehadiran Aisya dalam hidupku sangatlah berarti. Hari-hariku terasa hidup dan menyenangkan.

“Kalau begitu kau bisa menganggap orangtuaku seperti orangtuamu tapi ada syaratnya..” Goda Aisya.

“Apa? Yang penting tidak susah dan masih terjangkau.” Jawabku mantap.
“Setiap libur dan ada waktu luang kau harus bantu kami tanam wortel dan kentang di kebun.” Sahut Aisyah agak ragu.

“Yes!Yes! Aku mau.” Aku bersorak melompat-lompat, membuat Aisyah tampak menarik nafas lega dan tertawa melihat tingkahku. “Aku ingin punya tangan seperti tanganmu kasar tidak seperti tangan wanita.” Cetusku riang.

“Berarti kau harus menggantikan tugasku di kebun supaya tanganku halus seperti wanita.” Aisya tertawa gembira tapi serius.
“Mengembalikan masing-masing pada kodratnya.” Kami berdua dengan kompak dan tertawa berderai. Menyenangkan.

Sejak itu, persahabatanku dengan Aisya semakin akrab. Kedua orangtuanya sangat ramah dan bersahabat. Tetangga-tetangga di pegunungan Kopeng semua menyenangkan penuh kekeluargaan.

“ Vid, aku datang menitipkan helm pink-ku ini kepadamu. Aku dan teman-teman berharap setelah selesai tugasmu segera menyusul kami ke gunung Kelud.” Aisyah Sore itu datang dengan terburu-buru. “Jika aku tidak kembali apa kau akan tetap merindukan aku?”

BACA JUGA:  Setangkai Mawar Merah

“Ah! Jangan berkata begitu. Jika kau tidak ada dekatku aku akan selalu merindukanmu tapi, aku akan segera menyusul ya.”Ujarku tanpa menghiraukan perkataannya namun ada sesuatu di hatiku mendengarnya tapi aku berusaha menepisnya.

“Aku hanya bercanda!” Aisya tertawa sambil menepuk pundakku. “tanks karena selalu merindukanku.”

Waktu itu Hujan debu Vulkanik dari erupsi gunung Kelud mengguyur bumi Kopeng. “Lihat! Seperti hujan salju turun. Seluruh bumi Kopeng seakan tertutup salju. Fantastik!” Seruku setengah berteriak. 

Aku sangat ingin melihat salju sehingga kami berdua sering kali membicarakannya, kami pun membicarakannnya lagi.

Aku sangat berat hati melepaskannya pergi. Biasanya kami selalu satu tim dalam melakukan kegiatan sosial. Kami membuka Les gratis di desa Sumogawe untuk masyarakat. Membina petani –petani miskin di Getasan.

Aku dan Aisyah memiliki hati yang sama peduli dengan lingkungan dan sekeliling kami yang berkekurangan. Kami juga terjun ke lapangan ketika gunung merapi meletus, banjir di Pati bersama mahasiswa-mahasiswa lainnya.

Jika panen, hasil dari kebun kami di Kopeng bersama keluarga Aisyah memberikan bungkusan kentang dan wortel dan kami bagikan kepada orang yang membutuhkan di kota.

Kedua orangtuaku, mendengar aksi sosial kami mengirimkan pakaian bekas dan uang.

Aha! Seluruh Getasan, Kopeng pesisir dan Salatiga mengenal kami dengan baik tapi kami masih titik kecil di permukaan Salatiga yang luas membentang.

Meski kami sudah berusaha keras uluran tangan yang lain masih terbuka lebar. Butuh banyak uluran tangan lagi supaya merata.

Terkadang aku begitu sedih dengan penyunatan yang dilakukan teman-teman yang tidak bertanggungjwab. Terkadang bantuan yang ada mereka gunakan untuk kepentingannya sendiri sehingga kami sangat hati-hati dalam memilih tim.

BACA JUGA:  Ketika Dina Menulis Diary

Entah mengapa hari itu aku begitu gelisah. Sudah berapa kali aku bolak-balik Salatiga – Kopeng. Harusnya Aisyah dan tim sudah pulang karena kami ada ujian di Sumogawe.

Rencana terakhir mereka akan pulang dulu baru kami akan berangkat bersama lagi. Tapi, sampai detik ini tidak ada kabar. Seluruh ponsel tim mail box. Aku segera mengenakan helm dan segera tancap gas turun Salatiga, Kembali ke Kos.

Mari Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *