Hujan Salju Turun di Kopeng

“Aku satu sisi iri denganmu Vid. Tidak ada yang mengkwatirkanmu. Kedua orangtuamu percaya kau dapat jaga diri tidak seperti aku sedikit-sedikit mereka menghubungiku khawatir. Secara ekonomi kau berkelimpahan. Kau juga baik hati.” Tandas Aisya.

“Justru aku iri denganmu Aisya. Orangtuamu begitu mengkhawatirkanmu dan aku merindukan itu. Tapi, dari pengalamanmu dan pengalamanku nyata banget kita itu anak yang tidak puas dengan hidup kita. Kata mentorku, sebenarnya, hidup kita tidak ada yang kebetulan Tuhan mengijinkan apapun kita miliki dan alami ada maksud dan tujuanNya dalam hidup kita sehingga kita harus selalu bersyukur”.

Aha! Duhai. Aku semakin terpesona dengan perubahan diriku. Dulu aku begitu sering bersungut-sungut tapi sekarang bisa berkata bersyukur dan lebih bijak, ehem!

Mungkin kalau kak Sanjaya melihatnya pasti kasih 2 jempol. Sip n Mantap! Pastinya. Ah, kak Sanjaya, miss u.

Aku pertama kali berkenalan dengan Aisya di Kampus sama-sama mahasiswa kelas baru, satu jurusan pemerhati Sosial. Ia satu-satunya wanita yang berkerudung di kelasku. Wajahnya yang lugu dan imut mengingatkanku akan seseorang. Saat dia tersenyum.

Tertawa kecil. Cemberut dengan mulut manyon. Bola mata yang bulat. Berninar-binar bagai pelangi. Mampu membuatku tertawa dan menggodanya. ia begitu mirip dengan adikku Ester, sudah dua tahun dia dipanggil Tuhan karena penyakit Leukimia.

“Maaf!” Aisya berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku yang kuat dan erat. Aku tertegun dan terkesima. Aku tak berhenti menatap matanya sehingga ia tampak risih. Sulit bagiku menjelaskan di tengah perkenalan kampus. Jadi, aku dengan tersipu tapi penuh gurat kesedihan melepaskan genggamanku.

Seluruh kelas tampak riuh menggodaku dan aku dengar bunyi suit panjang dari temanku Guntur, si Batak Amuba (Asli Muka Batak) tapi penuh lelucon dan bersahabat.

BACA JUGA:  Setangkai Mawar Merah

“Tanganmu begitu halus, seperti tangan wanita.” Kata Aisya dengan enggan menampik uluran tanganku. “Tanganku kasar seperti tangan pria.”

“Aku juga malu banyak yang bilang tanganku seperti tangan wanita. Kita seharusnya gantian” Aku memotong perkataannya sambil tertawa karena aku mengerti apa yang ingin ia sampaikan. Benar! Tangan Aisya kasar. Tangan seorang pekerja keras.

Akhirnya Aku dan Aisya tertawa lepas. Sejak itu, kami begitu akrab. Ia sahabat yang penuh canda. Lucu dan lugu. Dekat dengannya begitu hidup dan bermakna. Kata-katanya mengalir teduh bagai air bening.

Ia akan tercenung dengan bola matanya yang bulat menyimak dengan serius saat aku menceritakan tentang adikku. Aku berikan foto adikku kepadanya dan di cocokkan dengan fotonya ketika berumur 5 tahun. Itu membuat matanya mengerjab-ngerjab tak percaya.

Mari Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *