Hujan Salju Turun di Kopeng

Kedua orangtua Aisya pun hanya petani kentang dan wortel. Tanahnya hanya 500m persegi. Hidup mereka sederhana. Keseharian hanya makan tempe dan keripik kentang. Aisya adalah anak pertama dengan 3 orang adik, 1 anak lelaki, Arif dan 2 anak perempuan, Leyla dan Fitri.

Mereka memanggilku mas David. Kedua orangtua Aisya selalu berkata akan terus menabung di setiap panen untuk menyekolahkan Aisya dan adik-adiknya sampai ke perguruan tinggi.

“Supaya mereka bisa menolong anak petani di desa ini yangb tidak bisa sekolah tinggi-tinggi.

Sebagian besar Cuma sampai SMP. Kami ingin agar Aisya menyelesaikan kuliahnya dan dapat pekerjaan yang lebih baik sehingga dapat membantu biaya adik-adiknya sampai kuliah nanti”.

Perkataan ini membuatku kagum dengan kehidupan yang sederhana tapi memiliki niat yang mulia.

Hal itu membuat Aku teringat kedua orangtuaku yang sibuk bekerja, tapi, kini aku memahami posisi kedua orangtuaku lewat mentorku kak Sanjaya, ketua OSIS sekaligus Ketua PD (Persekutuan Doa) di Kampusku.

Kak Sanjaya, seorang yang sabar dan rendah hati, selalu ada waktu untukku jika aku membutuhkan nasehatnya atau aku lagi ada masalah. Selalu saja ada jalan keluar yang membuatku semakin cinta Tuhan.

Di samping itu, kehidupan Aisya yang sangat sederhana, membuatku banyak belajar tentang kehidupan ini. Uang yang berlimpah pemberian orangtuaku dapat kubagikan kepada orangtua Aisya utuk membeli pupuk. Semula mereka menampik tapi aku menjelaskan dari pada sebelumnya aku gunakan untuk hura-hura dan merokok atau pesta- pesta, akhirnya mereka menerima.

Sejak itu, aku berhenti merokok dan hura-hura. Kini aku bersama Aisya lebih banyak bertanam dan aktifitas sosial.

Aku pun kadang merenung jika aku berkekurangan seperti Aisya, bagaimana aku bisa menolong keluarganya? Benar kata kak Sanjaya. Apapun keberadaan orangtua, semua itu Tuhan ijinkan untuk memberi yang terbaik bagi umatNya.

BACA JUGA:  Setangkai Mawar Merah

Dengan uang yang lebih dari cukup aku bisa menikmati kebahagiaan indahnya hidup berbagi. Demikian juga dengan Aisya, dibalik kekurangan, keluarganya dapat berbagi hidup denganku, mereka tampak bangga dan bahagia mengajariku bertcocok tanam.

Menerima keberadaanku tanpa curiga. Tulus. Sesuatu yang tidak pernah kulakukan. Kami semua akan tertawa, bahkan para tetangga akan datang berkerumun.

Gelak tawa dan canda bergema di puncak Kopeng disaksikan alam pegunungan. Kami bahagia seperti sebuah keluarga.

Apalagi usai bercocok tanam, habis mandi di depan tivi nonton sambil makan keripik kentang. Aha! Enak tenan.

Mari Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *