Interestnews,- Sebuah rumah kayu mungil, bertuliskan “Bibasari” tidak sulit untuk menemukan tempat ini. Hanya dengan menyusur jalan Sukowati, sepanjang sisi kiri kanan jalan yang berjejer ruko-ruko beragam usaha, dengan pintu kayu asli tanpa pernis maupun cat. Asli natural dari kayu jati tua. Sekilas rumah terlihat misteri karena beda dari ruko lainnya.
Seorang lelaki berkumis duduk dengan santai sambil menyerumput kopi pahit, menyambut interestnews.or.id diiringi dengansenyum dan tawa kecil mempersilahkan duduk. Lelaki itu, tak lain sosok di balik nama Bibasari yang terpampang di atas pintu rumah, namanya Didick Indaryanto, akrab dipanggil Didick.
Sambil sesekali meneguk kopi dan mengisap rokok kreteknya, ia mulai berkisah di balik nama Bibasari. Didick. Terkenal seantero Salatiga, yang menggeluti seni tari dan budaya nusantara serta penyedia pakaian tradisional dari berbagai nusantara Indonesia terlengkap di Salatiga.
“Kami pencetus pakaian adat pertama kali dari berbagai daerah di sini. Lengkap dengan aksesorisnya. Untuk menjawab kebutuhan masyarakat.”Ujar Didick.
Didick Indaryanto dikenal dengan sosok yang menggeluti seni dan budaya. Sosok dibalik pentas gebyar sentra tari dari berbagai nusantara di setiap event yang digelar oleh kota Salatiga. Namun, tak banyak yang mengenalnya dan makna di balik Bibasari.
“Saya itu, pecinta seni. Ketertarikan saya sejak masa TK, yaitu seni tari. Saya menari pertama kali sejak masa itu, tari payung dari Sumatera.” Ujarnya memulai kisahnya.
Lahir di Salatiga, sebagai orang asli Salatiga namun buyut dari ayahnya asli dari Jogjakarta. Sedangkan buyut dari ibunya asli dari Solo. Jadi perpaduan darah Salatiga, Jogjakarta dan Solo. Ia anak bungsu dari sebelas bersaudara.
Masa kecilnya, sama seperti yang lainnya anak sesama usianya senang berkelahi dan usil. Itulah kesehariannya namun sejak ia mulai tertarik seni banyak waktu ia lewatkan dengan berlatih seni tari.
“Ke sekolah saya naik kereta kuda diantar jemput. Dulu, pada zaman itu tidak semua orang bisa naik kereta kuda. Meski begitu, saya bukan keturunan ningrat tapi, saya keturunan pejuang. Sekarang pejuang seni dan budaya.” Ujarnya tertawa lebar.
Selama masa TK, Didick selalu terlibat dalam kegiatan tari dan sangat menonjol dibading dengan yang lainnya. Namun, masa TK usai, ia masuk Sedolah Dasar (SD), seni tari saat itu tidak ada lagi yang ada adalah vokal alias nyanyi.
“Masuk SD tidak lagi menari karena tidak ada. Yang ada Vokal dan sejak di situ saya selalu disuruh menyanyi.” Jelasnya.
Seni tarinya kembali bangkit ketika masuk SMP. Hanya saja, ia mengalami kesulitan dalam mengikuti setiap gerakan dengan hitungan cepat. Kala itu sedang latihan Tari Minang asal Sumatera Barat.
“Hitungannya terlalu cepat, saya mengalami kesulitan dalam mengikuti gerakannya sehingga saya mengambil waktu latihan berkali-kali dan saya memakai hitungan saya sendiri. Tidak mengikuti hitungan pelatih dan anehnya, gerak saya dinilai lebih baik. Sejak itu, saya mulai berlati sendiri dengan hitungan sendiri dan lebih sederhana dan mudah untuk diikuti.” Katanya lagi.
Melalui pengalaman dan penemuannya tersebut, akhirnya ia mulai dilatih untuk mengajar tari dan mulai menciptakan gerak tari dari ciptaannya sendiri. Jadi, ia menjadi pencipta tari dari masih SMP. Ia pun banyak meraih prestasi sehingga ketika ia memasuki SMA, ia masuk SMA 1 tanpa test.
Banyak kemudahan yang ia dapatkan. Selain masuk tanpa test. Juga masuk tanpa plonco. Suatu keharusan ketika masuk SMA harus mengikuti Polco namun bagi Didick ada suatu pengecualian, ia langsung duduk di OSIS.
Lulus SMA Didick melajut kuliah di Jogjakarta. Tahun 1971 Ia kembali ke Salatiga dan langsung membuat kelompok seni tari.
“Suatu hari, Ketua DPRD Salatiga kala itu menyuruh saya membentuk sebuah organisasi kesenian dan terbentuklah namanya Bibasari. Saya didaulat jadi ketua. Terbentuklah kepengurusan Bibasari. Jadi, Bibasari kepanjangannya Bimbingan Pengembangan Seni Tari Indonesia.” Jelasnya lagi.
Melalui Bibasari Didick banyak membina para pejabat-pejabat dan pecinta seni. Hal ini, menjadi suatu kenangan yang tidak terlupakan bagi Didick.
“Kala itu, banyak para pejabat – pejabat saya yang kasih pelatihan dan bimbingan. Terus terang saya salut kepada para tokoh-tokoh masyarakat tersebut. Dulu, pemerintahan bersih. Tidak ada bantuan anggaran. Semua dari karya dengan penjualan tiket. Baru tahun 1977 dapat bantuan dari pemerintah dan sejak itu Bibasari jadi ngetop.” Didick Tertawa dengan nada bangga.
Tahun 1975 hingga tahun 1976 Bibasari selalu melakukan kegiatan-kegiatan bersifat pembangunan karena saya punya slogan dari kota mati menjadi kota seribu. Kalau pameran pembangunan Bibasari sellau nomor 1. Kegiatan HUT kemerdekaan selalu Bibasari yang ditujuk untuk mengadakan kegiatan dalam tingkat kota dan memfokuskan kepada Bimbingan Pengembangan Seni Tari Indonesia.
Tahun yang sama, Didick mulai melatih dengan kesenian tengklek. Baru tahap kemudian dilengkapi dengan kostum. Hingga tahun 1978 hingga tahun 1980 an mulai ada larangan-larangan. Itulah masa Bibasari Calling Down. Bibasari mengalami hambatan dari salah satu kepala daerah masa itu. Namun, pengembangan karya ia terus kembangkan.
Tahun 1982, Bibasari mulai mengadakan kegiatan. Kembali ke SalatigaMengadakan pameran. Bibasari menjadi nomor satu dalam setiap event. Pada hari kemerdekaan. Bibasari tampil dalam tingkat Kota.
Tahun 2002, atas intruksi walikota almarhum meminta agar menciptakan busana kas Salatiga. Sejak itu dibentuknya dan digali busana khas Salatiga. Meletakkan prosesi hari jadi kota Salatiga dan penetapan pengantin khas Salatiga. Tahun 2002 tercipta namun terhenti selama 20 tahun..
Jadi, prosesi hari jadi dalam memperkaya 4 kecamatan. Salatiga dibagi dengan nuansa-nuansa yang berbeda. Kecamatan Sidomukti, kesenian Salatiga dengan nuansa khas Jawa China, Kecamatan Sidorejo kesenian Salatiga bernuansa khas Salatiga Eropah Jawa, Kecamatan Tingkir bernuansa kesenian khas Jawa Timur Tengah dan Argomulyo masih asli nernuansa kesenian Jawa Asli. Hal ini dilakukan untuk memperkaya nuansa kebudayaan bangsa.
Seiring waktu dalam penggalian busana, Salatiga tertinggal hingga tahun 2007 baru pengantin khas Salatiga mendapat pengakuan. Perjuangan dari tahun 2002 hingga tahun 2023 akhir menjelang walikota Yulianto menjabat, akhirnya Busana Salatiga di SK kan resmi.
Setiap akar kesenian dan budaya perlu diangkat. Tugas generasi muda adalah mengangkat dalam kualitas yang harus diekrjakan terus namun tidak lepas dari kebijakan pengambil keputusan.
“Saya selalu menghimbau kepada sanggar-sangar untuk terus berkarya dan menggali akarnya sesuai dengan kearifan lokal. Tarian pembauran dari berbagai daerah disebut tarian percintaan. Pada dasarnya Bibasari terbuka kepada siapapun yang mau mengangkat Salatiga dari kesnian dan budaya. Mari bersama mengembangkannya. Tidak perlu egosentis. Banyak sebenarnya yang dapat kita angkat jadi marilah kita bersama-sama untuk kota Salatiga.” Kata Didick lagi.
Didick menyampaikan tidak pernah menyerah dan putus asa untuk memperjuangkan kemajuan dalam keseniaan dan budaya khas Salatiga. Semua gagasan dan karyanya sedang ia berusaha agar generasi penerus dapat melihat dan menikmati serta harapannya mengembangkan ke depan. Ia sedang mempersiapkan karya-karyanya untuk dibukukan.
“Saya sudah tua. Saya meregenerasikan kepada anak-anak penerus melalui sanggar-sanggar dan melalui buku yang saya akan luncurkan. Selagi masih ada nafas saya akan bekerja untuk pengembangan kesenian khas Salatiga.” Tegasnya.
Bibasari adalah sebuah lembaga dengan kepengurusannya. Bibasari itu organisasi pada awalnya, akan tetapi Bibasari sekarang menjadi Sanggar Seni oleh pemerintah. Sehingga Bibasari itu menjadi tempat kumpulnya para seni di bawah Pancasila. Sesuai dengan gagasan pemerintah. (Las)