Nyaris Diperkosa, Suara Di Tengah Hutan Selamatkanku

Oleh: Lasma M.Simbolon

Hari libur adalah hari yang sangat menyenangkan bagiku dan keluarga. Memang tidak selalu.

Akan tetapi selalu saja ada waktu berlibur keluarga, papaku akan mengajak kami sambil berkunjung ke kampung halaman papaku di Pulau Samosir, Siriaon – Simbolon, tempat kelahiran papaku.

Pulau Samosir, terletak di tengah danau Toba, Sumatera Utara. Pemandangannya sangat indah, sejuk dan mempesona.

Bukit barisan terbentang kanan – kiri. Pematang sawah yang terbentang luas memberi keindahan yang tiada tara. Belum lagi bukit dan lembah-lembah terjal. Pohon-pohon pinus yang berjejer rapi dan tertata alami oleh alam. Rapi dan asri. Hm,..

Kenangan yang tak pernah lekat saat aku berusia 5 ( lima ) tahun. Aku ingat persis gaun yang aku kenakan gaun berdasi di bawah lutut, berbintik-bintik.

Hari itu papa membawa kami semua liburan ke kampung halaman papa lagi.

Aha! Menyenangkan sekali.
Pagi-pagi, subuh dini hari mama membangunkan kami mempersiapkan segala sesuatu. Mama memasak untuk serapan dan bekal di jalan.

Bekal tersebut akan di taruh di rantang tingkat dan termos untuk buat kopi di jalan. Papaku selalu bilang masakan rumah itulah paling enak dan terjamin kebersihan dan kesehatannya. Kami semua setuju. Masakan mama memang paling enak! Hmm.

Perjalanan dari Sidikalang, kota kecilku menuju kampung halaman papaku adalah perjalanan yang sangat mengasyikkan. Di tempuh hanya beberapa jam.

Melewati lembah, bukit dan danau Toba dengan panorama kaindahan alam nan indah mempesona.

Bus, milik kami akan oleng ke kanan dan ke kiri melewati kelok tajam dan terjal. Papaku adalah penyetir yang hebat. Seperti halnya semua supir asal Sumatera terkenal hebat dan handal.

Jalan yang berkelok-kelok. Terjal, diantara dinding jurang yang curam namun kami tidak pernah kawatir karena papaku cakap dalam hal ini. Pengemudi yang lihai.

Sorot mata kami akan mendelik melihat dalamnya jurang di sisi jalan. Hh!

Hari libur, biasanya papa menyetir sendiri. Hanya kondekturnya yang ikut. Kadang kami akan diajak singgah berburu di hutan Parbuluan. Wah…tentu saja itu sangat mengasyikkan.

Kami dapat bercengkrama dengan monyet-monyet yang bergayut di pohon. Monyet-monyet itu sudah tampak familiar dengan manusia.
Kami hanya perlu menyediakan pisang yang banyak untuk membuat para monyet itu dapat lebih jinak dan mendekat.

Para monyet itu pun akan mengunyah pisang tersebut dan menyimpannya di pipi, di rahangnya. Terkadang dengan usil kami suka menrksnnya maka sang monyet pun akan mengernyit dan kami berlari-lari terbirit-birit di kejar hahaha..

Tiba di tujuan, kami disambut hangat oleh sanak keluarga papaku. Rasa lelah usai menikmati makan bersama, aku jatuh tertidur pulas karena kelelahan.

Hingga ketika terjaga hari sudah sore. Aku mencari papa, mama dan keluarga yang lain tapi, tidak ada seorang pun kutemui di rumah. Aku berteriak-teriak memanggil. Tetangga bilang kalau semua telah pergi ke penggilangan.

Aku menangis, tapi tiba-tiba kenek (kondektur) bus kami muncul di depan pintu dan meraih tanganku.

“Jangan menangis, ayo, aku antar kesana. Aku disuruh menjemputmu” Katanya, aku pun mengikutinya tanpa curiga.

Aku mengikuti langkah sang kondektur kami dengan masih terisak. Ia membujukku untuk tidak menangis karena sudah tidak lama lagi akan bertemu mereka, itulah yang dikatakannya kepadaku waktu itu dan hatiku terhibur. Aku memegang tangannya erat takut tertinggal.

BACA JUGA:  "Berbagi Itu Indah", Panitia Natal Gereja Maria Assumpta Klaten Berbagi

Matahari mulai terbenam. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres karena jalan yang kami tuju bukan jalan ke penggilangan tapi ke tempat lain. Suatu jalan yang tidak pernah ku jalani sebelumnya.

Hatiku sudah mulai curiga dan benar saja ia membawaku menuju hutan. Aku menarik tanganku dari genggamannya.

Tiba di sebuah tanah yang sedikit lapang. Aku melihat sekeliling kami dikelilingi pohon-pohon tinggi. Tidak ada rumah dan sepi.

“Jangan takut. Kita tersesat. Kita tidur disini” ia lalu meraih sarung yang terselempangkan ditubuhnya. “ buka bajumu!” katanya lagi sambil membungkuk hendak membentangkan sarung di tanah.

Mendengar perkataannya aku takut sekali. Sekeliling kami hanya pohon dan bunyi jangkrik terdengar nyaring. Seluruh penghuni hutan mulai terdengar gelisah. Suasana seakan riuh sahut menyahut. Membuat bulu kudukku berdiri.

Aku merasa ia berbohong dan ia hendak merencanakan yang jahat terhadapku. Jantungku berdetak kencang. Aku memikirkan sesuatu.

Lari. Itulah yang terpikir di pikiranku.
Saat dia membungkuk badannya membentangkan sarung. Aku pun berlari sekencang-kencangnya tanpa berhenti.

Aku berlari ke arah yang berlawanan dari kami datang. Aku tidak peduli akan sekelilingku. Aku terus berlari dan berlari.

Aku mendengar suara memanggil, memaki dan mengancamku. Aku terus berlari menerobos semak belukar. Menghilang di balik pepohonan. Terus berlari dan berlari.

Rasa sakit di kakiku tertusuk duri dari tanaman putri malu namun rasa sakit itu tak sanggup menahan langkahku untuk terus berlari dan berlari.
Suara kenek itu, makin lama makin hilang.

Namun, aku terus berlari. Dalam benakku hanya satu, berlari semakin jauh. Sejauh mungkin. Sepanjang berlari aku menangis dan menangis dan terus berlari. Dalam kegelapan malam itu. Cahaya bulan purnama menerangi jalanku.

Pada satu titik di mana aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku terkepung pepohonan raksasa dan suasana gelap. Aku manatap ke langit yang tampak kelabu gelap.

“Tuhan, dimanakah Engkau tolonglah aku !” Jeritku.

Dalam ketakutan amat sangat itu, tiba-tiba aku mendengar suara lembut : “Pejamkan matamu!”

Aku segera memejamkan mataku dan suara itu memberiku ketenangan dan menuntun langkahku. Suara itu berkata lurus. Aku berlari lurus. Ke kiri, aku berlari ke kiri dan ke kanan, aku berlari ke kanan. Lompat, aku melompat.

Hingga pada satu titik aku tidak punya tenaga lagi dan suara itu tidak lagi terdengar.

Aku terjatuh lelah, tidak sanggup lagi berdiri dan aku bersandar ke sebuah batu dan aku menangis memanggil Tuhan, mama, dan papaku sambil memejamkan mataku ketakutan.

Byurrr ! tiba-tiba tubuhku diguyur air. Aku mendengar suara seseorang seperti Namboruku “Marisi ada dipinggir sumur!”. Marisi adalah nama panggilanku, sering juga dipanggil Sisi atau Mar. Jarang yang memanggilku Lasma kecuali di sekolah.

Aku lega ternyata aku sudah sampai di rumah. Ternyata aku jatuh terkulai tepat di sisi sumur rumah kami. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi yang aku rasakan kepalaku disiram segenggam beras.

Mama memelukku. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi.
Aku hanya diam membisu. Ada trauma dan ketakutan. Ketakutan yang kuat membelenggu hingga aku tidak berani untuk menceritakan apa yang tgerjadi menimpaku.

BACA JUGA:  Kekristenan Bukan Pengalaman Dalam Kesendirian

Aku hanya terdiam dan terdiam. Sepertinya air mataku pun sudah kering untuk menangis lagi.
Ketika pertanyaan ditujukan kepadaku.

Aku tak sanggup menjawab sehingga mama dan papaku serta kerabatku memiliki kesimpulannya sendiri bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Mereka pun ramai berdiskusi sementara aku terbaring.

Keesokan harinya, keluargaku mengadakan selamatan. Mereka pikir aku dibawa roh halus. Aku tidak menceritakan apa yang terjadi. Aku hanya diam. Aku begitu ketakutan dan tidak sanggup menceritakannya.

Mereka menyemburku dengan air dan memercik-percikkan beras dan berkomat-kamit dengan bahasa-bahasa yang membingungkan. Ingin rasanya menjelaskan apa dan bagaimana akan tetapi mulutku terkunci rapat. Sejak itu, kenek bus kami itu tidak pernah terlihat lagi.

Siapakah dia yang bersuara menyelamatkanku? Aku percaya suara yang mengarahkan langkahku itu adalah Tuhan tapi Tuhan yang mana.

Peristiwa itu, membuatku lebih senang menyendiri mencari siapakah Tuhan yang berbicara malam itu. Jika Dia dapat menuntunku dengan suara yang nyata aku yakin Dia dapat menyatakan siapa Dia sebenarnya.

Saat duduk di depan jendela lotengku aku menatap ke langit dan bertanya Tuhan siapakah Engkau. Saat aku melihat mamaku berdoa aku bertanya dalam hati bagaimana mamaku bisa berdoa dengan yakin tentang Tuhannya.

Aku selalu rajin ke gereja namun tidak ada sesuatu yang menarik di gereja waktu itu. Gereja tidak berdampak membuat hatiku menarik. Hanya sebagai rutinitas.

Aku melihat di gereja bernyanyi kaku dan saat kotbah aku melihat yang hadir banyak tertidur dan terbangun saat kata amin. Paling parahnya, para pendeta masih merokok, bertengkar dan berjudi. Itu membuatku tidak yakin apa ada Tuhan di gereja.

Sejak kecil aku selalu berpikir bahwa Tuhan itu ada akan tetapi Tuhan yang mana karena semua agama yang kuperhatikan waktu itu tidak ada kepastian dalam mengenal Tuhannya.

Aku selalu berkata dalam hatiku bahwa aku percaya Tuhan tapi Tuhan yang dapat menyatakan dirinya kepadaku. Itulah Tuhan yang akan kupercayai.

Jadi, setiap malam, aku akan duduk di jendela lotengku menatap langit dan bukit serta pemandangan yang terbentang di depan loteng kamarku dan selalu berucap : “ Tuhan! Jika Engkau memang ada, nyatakanlah diriMu kepadaku. Engkau sanggup menjadikan segala sesuatu masakkan tidak bisa menyatakan diri.

Aku percaya suara yang kudengar di hutan adalah suaraMu. Tunjukkanlah diriMu.”

Bertahun-tahun sejak peristiwa itu aku selalu mengucapkan doaku di depan jendela. Hingga suatu hari di usiaku 15 tahun aku bermimpi. Dalam mimpi itu ada badai dan hujan deras di sekelilingku dan ketika badai dan hujan menghempas pintu rumah kami.

Aku berdiri menahan agar badai itu jangan menghempaskan pintu rumah kami. Aku terus berjuang. Tiba-tiba aku merasakan badai itu tenang danb hujan berhenti.

Aku lalu membuka pintu lebar dan tiba-tiba aku melihat sinar yang silau dari sebelah kanan rumahku. Ada tangga dari langit dan sepasang kaki diantara jubah. Putih kemilau. Aku tak dapat melihat wajahNya yang kemilauan yang aku tahu Dia adalah Yesus Kristus Aku menangis dan gemetar.

BACA JUGA:  Kesatuan Keluarga yang Membawa Dampak

Aku merasakan ada kasih yang meliputi hatiku. “Akulah Dia!” Suara itu begitu damai dan penuh kasih. “Yesus! Yesus! Yesus…aku mengasihiMu..” Aku berseru-seru dan terbangun.

Sejak itu aku merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam diriku. Ada sesuatu kasih yang baru di hatiku. Kasih yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Sebuah kasih yang melonjak-lonjak dalam hatiku.

Terkadang tak tertahankan sehingga aku bersyujud memanggil nama Yesus.

Nama itu membuat hatiku meluap dan bergelora. Ada sesuatu semangat yang meletup-letup dan aku menemukan sebuah gereja kecil GSJA di Jalan Trikora- Dairi. Jemaatnya hanya beberapa orang akan tetapi setiap hari tekun membaca dan belajar Alkitab.

Di Gereja kecil itu, rutin diadakan doa pagi yang hadir hanya paling banyak empat orang termasuk aku.

Pendetanya seorang wanita yang belum menikah. Pdt Pinta Sitinjak namanya. Orangnya kurus, imut namun tegas.

Karena perempuan, ini sangat menguntungkanku. Akan lebih banyak waktuku usai melakukan pekerjaan rumah. Aku akan berlari ke gereja untuk belajar firman dan berdoa.

Doa pagi jam 04.30 Wib, setiap pagi aku bangun jam 04.00 WIB kurang. Berlari melewati kuburan. Ada rasa takut menghantuiku setiap kali harus melewati kuburan. Apalagi dengan bunyi lolongan anjing yang melolong panjang menyedihkan dan menakutkan.

Bulu kudukku berdiri. Jantungku berdegub kencang sekali. Namun entah mengapa keberanian lebih besar dari ketakutan yang kurasa mencekam.

Aku akan berlari sekencang-kencangnya menuju gereja. Jaraknya satu kilo lebih.

Ada memang jalan kota yang tidak melewati kuburan. Akan tetapi banyak pemabuk dan anjing galak berkeliaran jika malam hingga pagi. Jalan yang paling aman tapi menyeramkan adalah lewat kuburan. Selalu saja aku menarik nafas lega, ketika akhirnya aku dapat tiba di gereja. Biasanya tante pendeta sudah terbangun.

Aku membantu menyapu dan mengepel gereja. Betapa semangatnya hatiku melakukan itu. Aku bayangkan Yesus tersenyum melihatku melakukan dengan sepenuh hati. Bahkan aku belajar bertani di kebun gereja. Seumur hidup belum pernah melakukannya.

Hanya saja rasa cinta yang besar kepada Yesus membuatku sangat bersemangat.

Hanya ada satu tekat dalam diriku yaitu menyenangkan hati Tuhan lewat semua yang kulakukan atau yang kukerjakan. Jadi, sekalipun menakutkan aku tetap berlari ke gereja kecil itu.

Aku jatuh cinta pertama kali pada Yesus. Cinta yang sangat membuatku bergelora setiap hari. Rasanya, aku tak sabar datangnya pagi hari. Untuk aku mulai saat teduhku dengan memujiNya.

Berdoa dan yang lebih menyenangkan membaca firmanNya. Seakan setiap ayat mampu berbicara kepadaku.
Cinta itulah yang mendorongku untuk lebih mengenalNya.

Setiap hari aku membaca kisahNya dalam kitab suci dan injil aku menemukan cintaku kepadaNya semakin bertumbuh dan sanggup membuatku mengampuni kenek bus kami itu sekalipun tidak pernah bertemu lagi.

Sejak itu ketakutan dan trauma itu pun lenyap. Lewat gereja kecil itu aku dididik melayani hingga ke desa-desa dan pelosok.

Menyampaikan kabar keselamatan kepada seluruh keluargaku. Alhasil, adik-adikku 3 perempuan semua menjadi hamba Tuhan dan melayani. Siapa sih Yesus (Yeshua Hamasiah) Dia hidup dan Nyata Aku telah mengenalNya bagaimana Anda? (**)

Mari Bagikan

Tinggalkan Balasan