INTERESTNEWS — Museum Arkeologi Sangiran adalah museum situs purbakala yang berada di Kalijambe dan Plupuh, Kecamatan Gondangrejo, masuk Kabupaten Karanganyar dan Sragen, Jateng. Museum ini berdekatan dengan area situs fosil purbakala Sangiran yang merupakan salah satu situs warisan dunia UNESCO.
Sedangkan Tim interestnews.or.id menghimpun Museum Sangiran beserta situs arkeologinya berada di dalam kawasan Kubah Sangiran, kaki Gunung Lawu (17 km dari Solo). Selain menjadi obyek wisata yang menarik, ini juga tempat penelitian tentang kehidupan prasejarah terpenting dan terlengkap di Asia, bahkan dunia.
Kita dapat memperoleh informasi lengkap tentang pola kehidupan manusia purba di Jawa pada museum ini. Hal ini menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan seperti Antropologi, Arkeologi, Geologi, dan Paleoanthropologi. Di lokasi situs Sangiran ini pula, untuk pertama kalinya Profesor von Koenigswald (arkeolog Jerman) menemukan fosil rahang bawah homo erectus.
Lebih menarik lagi, di area situs Sangiran ini pula jejak tinggalan berumur 2 juta tahun hingga 200.000 tahun masih ada hingga kini. Relatifnya utuh pula, sehingga para ahli dapat merangkai sebuah benang merah sejarah yang pernah terjadi di Sangiran secara berurutan.
Sangat banyak manfaat yang Anda dapatkan saat mengunjungi tempat ini karena termasuk aset wisata paling penting bagi Kabupaten Sragen. Selain fosil, kita juga bisa melihat perlengkapan berburu seperti kapak batu. Dulu manusia purba menggunakan kapak batu ini untuk bertahan hidup.
Selain itu, buku-buku tua juga akan kamu temukan di museum ini. Lokasi museum sendiri berada di kawasan Situs Sangiran. Mereka percaya kawasan ini sebagai salah satu pusat kehidupan manusia purba di jaman prasejarah.
Akses ke Museum Arkeologi Sangiran
Sangat penting bagi kita semua untuk mengerti sejarah. Apalagi untuk masuk tidak mahal. Kita dapat bertanya kepada petugas yang sangat ramah melayani pengunjung.
Selama masih pendemi buka mulai jam 09.00 WIB dan tutup 15.00 WIB mulai Selasa sampai Minggu. Jangan datang hari Senin karena semua tempat tutup termasuk kuliner libur. Musium pun tutup hanya sedikit pagar terbuka, namun tidak menerima tamu pengunjung. Sebelum ke lokasi sebaiknya dapat menemui pengelola Aries Rustiko SH yang pada jam kerja berada di kantor desa.
“Jam buka memang beberapa waktu ini sangat pendek. Kita berharap bisa buka lebih pagi hingga sore karena pengunjung itu datang rombongan dan jauh-jauh hanya dapat melihat sebentar sudah harus tutup. Kasihan,” jelas Aries dengan serius.
“Kehadiran Musium Sangiran ini dapat mengangkat perekonomian masyarakat,” ujar Aries kepada interestnews. Waktu yang pendek, baru tiba sudah harus kembali. Tidak ada masalah bagi menginap di homestay, tetapi bagi yang tidak, mereka kembali. Mereka berharap waktu buka sudah normal.
“Pengunjung sudah mulai ramai. Jika buka, mobil seperti Anda tidak bisa masuk harus memutar dan parkir di luar. Ke sini naik ojek atau jalan kaki lumayan. Penuh orang” tandasnya sambil tertawa.
Hari itu, kami mampir sejenak di kantor Dinas Parawisata dan Olahraga. Namun demikian, karena peralihan tugas baru, kami tidak mendapatkan informasi yang memadai. Jadi kami beranjak menuju lokasi sekitar 30 menit lewat jalan desa.
Cuaca mendung dan gerimis namun sawah-sawah di sepanjang jalan yang kami lalui para petani tampak sibuk membersihkan pematang sawah. Tumpukan jerami-jerami sepanjang jalan dan di antara pematang sawah. Beberapa tumpukan itu diangkut sepeda motor dan ada juga pick up. Cukup menarik beberapa sepeda juga ikut mengangkut.
Homestay di Sekitar Museum Arkeologi Sangiran
Rumah-rumah penduduk sepi namun asri dengan beberapa tanaman bunga-bunga dan pohon-pohon seperti pohon rambutan, pisang, dan nangka. Bersih dan aroma desa yang khas. Di kantor desa kami bertemu dengan Pak Lurah yang sudah 3 periode terpilih. Ia menemani kami berkunjung ke pemilik homestay Tanto. Salah satu juga pemilik dan peneliti serta pengrajin batu-batuan.
Selanjutnya, kami pun menyusuri beberapa homestay di Desa Wisata Sangiran. Desa ini tahun lalu berhasil meraih peringkat 5 Desa Wisata kategori homestay. Homestay rumah warga ini terlihat unik dengan kamar-kamarnya yang rumahan dan sangat ndeso. Rumah ini terdiri dari kamar-kamar yang dari bangunan kayu murni dengan lantai keramik. Bersih dan unik.
“Semalam hanya Rp150 ribu sudah mendapatkan serapan pagi. Kalau makan siang atau malam mereka di luar. Namun jika ada permintaan kami layani namun jarang sih mbak! Biasanya mereka makan di luar. Paling ya minum teh atau kopi di malam hari, biasanya mereka sudah bawa makanan ringan sendiri. Para pengunjung ramah. Kita kekeluargaan saja sih karena di rumah,” kata Tanto tertawa.
“Banyak jenis bebatuan. Ini asli namun kami juga ada bahan dari batu imitasi harganya murah. Ada alat untuk pijat. Pajangan. Asbak. Bisa pesan. Toko kami di sebelah sana banyak aksesoris kami jadikan gelang hingga kalung. Itu batu asli warnanya juga asli. Harga murah, hari ini diskon deh,” ujarnya tertawa.
Masalah Kurangnya Kuliner
Sebuah toko aksesoris dan souvenir terpajang dengan ramai. Pengunjung sepi. “Kalau sore sudah tutup. Tempat ini sepi,” jelasnya lagi. Cuaca yang dingin membuat rasa lapar dan ingin ngopi tebersit. “Di mana tempat kuliner di sini?” tanya saya kepada Aries.
Tampaknya Aries tercenung sejenak. “Nah, kami kekurangannya di kuliner. Belum ada lokasi khusus kuliner. Kesulitan para pengunjung di sini kurang memadai dalam ketersediaan kuliner. Pengunjung biasanya bawa dari luar atau tempat mereka. Kami hanya kebagian sampahnya. Tidak ada pemasukan. Mungkin yang jadi pemikiran ke depan dengan serius ini masalah kuliner. Banyak yang keluhkan di situ. Kami pun menyayangkan hal ini. Hanya dari warga itupun terbatas dan tidak dikelola dengan memadai karena hanya perorangan,” lanjutnya dengan nada sedikit lirih.
Harga tiket masuk hanya Rp10.000 dan untuk turis asing Rp15.000. Cukup murah. Kita dapat menemukan banyak jenis fosil dan sejarahnya. Ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan sejarah, sekaligus kita dapat menikmati pemandangan alam terbuka yang sejuk. (las)